Test methods for determining
the effectiveness of wood preservatives and their performance requirements
4.2Termite proofing performance test
4.2.1Indoor test
4.2.1.1Injection treatment use
4.3.1.1.1Material
a)Wood piece The wood piece shall e as
follows:
1)The wood piece shall be a
normal and sound crytomeria sapwood, and shall be taken from the same wood in
air dried state.
2)The wood piece shall have
straight grain in two ways, and be finished smoothly and accurately by
planning.
3)The number of annual rings
of wood piece shall be 3 to 5 per 10 mm, and the density, when dried , shall be
within the range between 0.25 g/cm3 and 0.32 g/cm3 .
4)The shape of wood piece
shall be 20 mm x 20 mm at the end surface of lumber and 10 mm in height. The
dimensional tolerance of end surface of lumber and height shall be ± 0,5 mm.
5)Dry the wood piece in a circulating
type dryer at 60 °C ± 2°C in temperature for 48 h, place it in a desiccator for
approximately 30 min as it is. then weigh the mass to the nearest 0.01 g and
store it in a desiccator so as not to be humidified.
b)Test vermin The test vermin shall be Coptotermes (9)
Note(9): The Coptotermes, distributed in the west and
south of the BobsohPeninsula to damage
buildings. The scientific term is Coptotermes
formosanus SHIRAKI, and regardless of the place to be taken.
c)Breeding container the breeding
container shall be prepared so that the dental stone specified in JIS T 6605 of approximately 5 mm in thickness
is hardened in a part of an acrylic resin cylinder of 80 mm in diameter and 60 mm
in height. This is placed in a container with a lid in which the moistured
cotton added with 130 ml to 150 ml of water to the absorbent cotton 100 g of
Japan Pharmacopoeia is previously spread all over by approximately 10 mm in
thickness. A small hole has been opened in the lid for ventilating.
4.3.1.1.2Specimen The specimen shall be separated
into two classes such as a treated specimen and a non-treated specimen, and
shall be follows, respectively:
a)Treated specimen The treated specimen
shall be as follows:
1)Put the wood piece placed in a
beaker in a vacuum desiccator and others, depressurize it, recover to the
normal pressure as absorbing the sample, and leave it for a while as it is.
Then, take out the wood piece from the sample, wipe it lightly and immediately
weigh the mass to the nearest 0.01 g.
2)Calculate the sample absorption
rate of wood piece according to formula (10), and round off the first decimal
place to make an integer.
m20 –m19
A3 = x 100……………………………..(10)
m19
Where, A3 : sample absorption
rate (%)
m19 : mass of wood piece
in 4.3.1.1.1 a) 5) (g)
m20 : mass of the treated
specimen in 4.3.1.1.2 a) 1) (g)
3)Select to take the specified
number of treated samples of (250 ± 10) %
in sample absorption rate of wood piece for water soluble or emulsified sample
or (200 ± 10) % in sample absorption rate for oil based or oil soluble sample,
and leave it at a room temperature for 20 days or longer.
b)Non-treated specimen The non-treated
specimen shall be the wood piece specified in 4.3.1.1.1 a) and used for the judgement of the activity of test
vermin in vermin damage operation.
c)Number of specimens The number of
specimens shall be 5 in repetition number for both treated specimen and
non-treated specimen.
4.3.1.1.3Test After the weathering operation is
carried out the vermin damage operation shall be carried out.
a)Weathering operation Five pieces of each
specimen shall be taken as one set, and the others shall be in accordance with 4.2.1.1.3 a)
b)Specimen with weathering operation finished Dry the specimen with weathering operation finished in a circulating
type dryer at 60 °C ± 2 °C for 48 h. Leave it in a desiccator for approximately
30 min as it is, and weigh the mass to the nearest 0.01 g
c)Vermin damage operation The vermin
damage operation shall be as follows:
1)Put the plastics net of the
approximately 1 mm in thickness on the dental stone in a breeding container
specified in 4.3.1.1.1 c) and put
one piece of specimen on it so that the end surfaces of lumber become upward
and downward.
2)Take the termite specified in 4.3.1.1.1 b) from the nest at random,
and throw 150 worker termites and 15 soldier termites into one breeding
container.
3)Place the breeding container
gently in a dark place at 28 °C ± 2 °C in temperature for 21 days. Remove the
dead termite during test period quickly from the container.
d)Specimen with vermin damage operation finished After finishing of vermin damage operation, take out the specimen
from the breeding container, remove the adhered matter on the surface of
specimen sufficiently, dry it in air for approximately 24 h, then dry it in a
circulating type drier at 60 °C ± 2 °C in temperature for 48 h, leave it in a
desiccator for approximately 30 min as it is, and weigh the mass to the nearest
0.01 g.
4.3.1.1.4Calculation The calculation shall be as
follows:
a) Mass
decrease rate The mass decrease rate of each specimen shall be calculated
according to formula (11), and the mean value shall be obtained, and made to an
integer by rounding off the first decimal place.
m21 – m22
L4 = x 100………………………………..(11)
m21
Where, L4 = mass decrease rate
(%)
m21 = mass of the specimen in 4.3.1.1.3 b) (g)
m22 = mass of the specimen in 4.3.1.1.3 d) (g)
b)Vermin mortality rate The vermin
mortality rate of worker termite shall be calculated according to formula (12),
the mean value shall be obtained and made to an integer by rounding off the
first decimal place.
D1
M1 = x
100 ……………………………….(12)
150
Where, M1 : vermin
mortality rate (%)
D1 : total mortality number of
worker termites in 4.3.1.1.3 c)
4.3.1.1.5Effectiveness of test When the average mass decrease rate of the non-treatment specimen
tested as the same time of the treated specimen in 4.3.1.1.3 is under 15%, the
test shall be carried out again.
6.Performance requirements The performance
of wood preservatives shall be obtained according to the test methods in clause
4 and the record of test results in clause 5 and be confirmed to the
performance requirements as shown in table 14.
Table 14 Performance
requirements for wood preservatives
Classification of performance and test methods
Performance ….
Performance requirement
Antiseptic performance
Indoor test
Injection treatment use
Mass decrease rate (%)
3 max
Termite proofing performance
Indoor test
Ijection treatment use
Mass decrease rate (%)
3 max
Note (23):
When the treated specimen indicating 50 or more in vermin damage degree
exists,
it shall not be regarded as to satisfy the performance requirements.
Salah satu kebutuhan primer manusia
adalah kebutuhan akan pangan. Ketersediaan pangan harus sesuai dengan
kebutuhan, sehingga peningkatan produksi pertanian menjadi suatu hal yang
mutlak untuk dilakukan. Apalagi mengingat pertambahan penduduk yang cenderung
semakin meningkat (Harjadi, 1999) sementara usaha pertanian di Indonesia mengalami keterpurukan produksi akibat
serangan hama.
Memasuki abad
ke-21 banyak keluhan-keluhan masyarakat terutama masyarakat menengah ke atas tentang berbagai
penyakit seperti stroke, penyempitan
pembuluh darah, pengapuran, dan lain-lain yang diduga terkait dengan pola dan bahan makan. Banyak sekali makananyang diolah dengan berbagai bahan kimia tambahan.
Banyaknya kegiatan
budaya yang menggunakan pestisida kimia dengan frekuensi dan dosis yang berlebihan
dalam rangka meningkatkan hasil panen, akan menghasilkan bahan pangan yang
meracuni tubuh manusia karena mengandung logam-logam berat. Bahkan, makan sayur
yang duluselalu dianggap menyehatkan, kini harus
diwaspadai karena sayuran telah terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia beracun
yang berasal dari pestisida kimia yang digunakan.
Untuk
mengatasi kondisi tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah pemanfaatan pestisida
alami yang selain mampu mengurangi atau meniadakan hambatan-hambatan masalah
produksi seperti serangan hama juga menghindari manusia dari efek negatif yang
ditimbulkan. Salah satu bahan alami potensial yang dapat digunakan sebagai
bahan pembuatan biopestisida adalah tanaman Kacang Babi (Vicia faba L.) karena tanaman yang tumbuh liar di berbagai tempat
ini sudah terbukti mampu mengatasi serangan hama dan penyakit khususnya pada
beberapa jenis sayuran. Penggunaannya sebagai
biopestisida pada tanaman kubis dan kentang belum banyak diteliti. Oleh karena
itu, bahan aktif yang terdapat dalam tanaman ini perlu diteliti dengan seksama.
Perumusan Masalah
Hal yang akan di amati dalam penelitian ini adalah:
1.Mempelajari kandungan bahan
aktif daun Kacang Babi (V. faba L.)
2.Menjajaki peluang penggunaan ekstrak
daun Kacang Babi (V. faba L.) sebagai
biopestisida pada beberapa tanaman pertanian dan sekaligus mengamati tingkat
keefektifannya
3.Mengenalkan biopestisida dari ekstrak daun Kacang Babi kepada para
petani.
Tujuan Program
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan bagian tumbuhan Kacang Babi(V. faba L.) khususnya bagian daun sebagai biopestisida untuk menangani keterpurukan
produksi pertanian di Indonesia dari serangan hama, serta meningkatkan produksi
pangan di Indonesia yang sehat dan aman, dengan
memfokuskan penelitian pada kandungan bahan aktif yang terdapat dalam daun
tanaman tersebut.
Luaran Yang
Diharapkan
Setelah melakukan
penelitian ini diharapkan terbitnya sebuah artikel tentang manfaat daun Kacang
Babi (V. faba L.) sebagai biopestisida termasuk kandungan bahan aktifnya
di jurnal ilmiah terakreditasi, disamping paten terkait dengan produk
biopestisida yang dihasilkan.
Kegunaan Program
Dengan
ditemukannya biopestisida dari daun Kacang Babi melalui penelitian ini, maka
ketergantungan para petani lokal terhadap pestisida kimia yang selama ini
digunakan diharapkan menjadi berkurang. Apalagi mengingat harga pestisida kimia
yang selama ini digunakan cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun dan
efek negatif yang ditimbulkannya.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
Kacang Babi
merupakan tumbuhan tahunan, kaku, gundul, dengan tinggi antara 30-180 cm.
Batangnya kuat, bersegi dan berongga; sementara daunnya berseling, menyirip
ganda, berjumlah 2-6, dan berbentuk bulat telur hingga menjorong. Perbungaannya
berupa tandan pendek diketiak dengan jumlah bunga 1-6; berukuran 2-4 cm x 1.5
cm, berwarna putih dengan loreng dan ruam, dan berbau. Polongnya agak
menyilinder hingga memipih. Di lapangan, panjang kultivar hanya 5-10 cm,
sedangkan bila ditanam di kebun dapat mencapai 30 cm.
Asal dan
sebaran geografis tanaman ini meliputi daerah Mediterania atau daerah di
selatannya. Di Asia Barat, tumbuhan ini telah ditanam sejak dahulu. Sekarang
secara luas ditanam di semua daerah hangat dan pada ketinggian lebih tinggi
dari daerah tropis. Tumbuhan ini tergolong dalam kacang polong utama dunia (http://dusunlaman.net/wpcontent/uploads/2008/11/tephrosia.jpg.; diakses tanggal 15 Oktober 2009).
Selama
periode pertumbuhan tanaman ini memerlukan temperatur rata-rata 18-27°C, dengan
sedikit atau tidak ada panas yang berlebihan. Curah hujan yang diperlukan
sekitar 650-1000 mm/tahun, dengan kelembaban
tertinggi kurang lebih 9-12 minggu setelah penanaman. Meskipun tidak tahan
kekeringan dan air yang berlebihan, tanaman ini dapat tumbuh pada hampir semua
jenis lahan. Pertumbuhan terbaiknya terjadi di lahan berliat, dengan pH optimum
sekitar 6,5. Perbanyakan tanaman biasa
dilakukan dengan biji. Bentuk fisik tanaman ini disajikan pada Gambar 1.
Kacang Babi
merupakan tanaman yang menjanjikan karena kultivar kacang keringnya mulai
dijadikan makanan untuk manusia dan ternak karena kaya akan protein. Karena itu
usaha untuk meningkatkan luas lahan dan produktifitasnya merupakan usaha yang
menjanjikan.
Gambar 1. Vicia faba L.
III. METODE PENDEKATAN
Persiapan Bahan Baku sebagai
Simplisia
Persiapan
simplisia meliputi beberapa kegiatan, yaitu pengumpulan bahan baku, sortasi,
pengeringan dan penggilingan daun Kacang Babi menjadi serbuk dengan ukuran
40-60 mesh
.
Ekstraksi
Metode
ekstraksi yang dilakukan adalah maserasi menggunakan pelarut etanol dan air.
Maserasi dengan pelarut etanol dilakukan pada suhu kamar selama 24 jam dengan
pengadukan sesering mungkin. Perbandingan sampel dan etanol sebesar 1:3.
Masing-masing ekstrak ditimbang untuk mengetahui rendemennya dan dilakukan uji
fitokimia untuk mengetahui kandungan kimia utamanya (Harborne, 1996).
Perhitungan rendemen dengan rumus:
Satu
gram ekstrak dilarutkan dalam 5 ml kloroform dan beberapa tetes amoniak. Fraksi
kloroform dipisahkan dan selanjutnya fraklsi kloroform diasamkan dengan asam
sulfat 2 M, kemudian dikocok sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan asam
sulfat diteteskan pada lempeng tetes dan ditambahkan pereaksi Dragendorf, Mayer
dan Wagner yang akan menimbulkan endapan dengan warna berturut-turut merah
jingga, putih, dan coklat.
b. Uji Terpenoid dan Steroid
Satu
gram ekstrak dilarutkan dalam 25 ml etanol panas (50oC), kemudian
disaring ke dalam pinggan porselin dan diuapkan sampai kering. Residu
ditambahkan eter dan ekstrak eter dipindahkan ke dalam lempeng tetes, lalu
ditambahkan 3 tetes anhidrida asetat dan satu tetes H2SO4
pekat (pereaksi Lieberman-Burchard). Warna merah atau ungu menunjukkan adanya
terpenoid dan warna hijau atau biru menunjukkan adanya steroid.
c.Uji Saponin
Satu
gram ekstrak dilarutkan dalam 100 ml air dan dipanaskan selama 5 menit. Setelah
itu ekstrak disaring dan filtrat digunakan untuk pengujian. Uji saponin
dilakukan dengan pengocokan10 ml filtrat dalam tabung reaksi tertutup selama 10
menit. Adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil selama
15 menit.
d. Uji
Tanin
Satu
gram bubuk dilarutkan dalam 5 ml air, kemudian dididihkan selama beberapa
menit, lalu disaring. Filtrate yang dihasilkan ditambahkan 5 tetes FeCl3
1% (b/v). timbulnya warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan adanya
tannin.
e. Uji Kuinon
Satu
gram ekstrak ditambahkan 100 ml air, dididihkan selama 5 menit dan disaring 10
ml filtrat ditambahkan 5 tetes larutan natrium hidroklorida 1 N. Apabila
terbentuk warna merah menunjukkan adanya kuinon.
f. Uji Flavonoid
Satu gram ekstrak ditambah metanol sampai
terendam lalu dipanaskan. Filtratnya ditambah H2SO4.
Terbentuknya warna merah menunjukkan adanya senyawa flavonoid.
IV. PELAKSANAAN PROGRAM
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian
ini dilakukan di Desa Sunia, Kecamatan
Banjaran, Kabupaten Majalengka dan Laboratorium Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan
IPB dan dari bulan Februari hingga
Mei 2010.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian terhadap kandungan senyawa kimia
ekstrak daun kacang babi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Serbuk Daun Kacang
Babi
No.
Kandungan Zat
Hasil uji
1.
Alkaloid
+++
2.
Saponin
++
3.
Tanin
++
4.
Fenolik
-
5.
Flavonoid
-
6.
Triterfenoid
+
7.
Steroid
++
8.
Glikosida
++++
Keterangan
: - :
Negatif
+ : Positif lemah
++ : Positif
+++ : Positif kuat
++++ : Positif kuat sekali
Dari tabel 1. dapat
dilihat bahwa dari hasil uji fitokimia ekstrak daun kacang babi mengandung
glikosida, alkaloid, saponin, tanin, steroid, dan triterfenoid. Sedangkan
senyawa fenolik dan flavonoid tidak ditemukan.
Senyawa kimia pertahanan
tumbuhan merupakan metabolit sekunder atau alelokimia yang dihasilkan pada
jaringan tumbuhan, dan dapat bersifat toksik, menurunkan kemampuan serangga
dalam mencerna makanan, dan pada akhirnya mengganggu pertumbuhan serangga.
Senyawa kimia pertahanan tumbuhan antara lain meliputi tanin, saponin,
terpenoid, alkaloid, dan flavonoid (Ishaaya, 1986; Howe & Westley, 1988).
Tanin terdapat pada
berbagai tumbuhan berkayu dan herba, berperan sebagai pertahanan tumbuhan
dengan cara menghalangi serangga dalam mencernakan makanan. Serangga yang
memakan tumbuhan dengan kandungan tanin yang tinggi akan memperoleh sedikit
makanan yang bermanfaat bagi kehidupannya, akibatnya akan terjadi penurunan
pertumbuhan (Howe & Westley, 1988).
Saponin terdapat pada
berbagai jenis tumbuhan, dan bersama-sama dengan substansi sekunder tumbuhan
lainnya berperan sebagai pertahanan diri dari serangan serangga, karena saponin
yang terdapat pada makanan yang dikonsumsi serangga dapat menurunkan aktivitas
enzim pencernaan dan penyerapan makanan (Applebaum, 1978; Ishaaya, 1986).
Selanjutnya Smith (1989) menjelaskan bahwa alkaloid, terpenoid, dan flavonoid
merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga,
dan juga bersifat toksik.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan daun tanaman kacang babi sebagai
biopestisida pada tanaman sawi putih dan kol cukup efektif hal ini dapat
dilihat dari hasil uji lapangan pada lahan sawi putih dan kol di Desa Sunia,
Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka. Senyawa kimia yang berperan untuk
biopestisida dari ekstrak daun Kacang Babi diduga berasal dari senyawa
alkaloid, saponin, dan tanin.
VII. DAFTAR PUSTAKA
[Anonim].
2009. http://dusunlaman.net/wpcontent/uploads/2008/11/tephrosia.jpg. (Diakses
tanggal 15 Oktober 2009).
Applebaum, S.W. & Birk, Y. 1979. Saponin In: Herbivor their
interaction with Secondary plant metabolite Ed: Rosental G.A. & Janzen,
D.A. Academic Press. New York. London. pp.553-558.
Harborne J. B.
1996. Metode Fitokimia. K. Padmawinata dan I. Soediro (Penerjemah). S. Niksolihin (Editor). Bandung: ITB Press.
(Terjemahan)
Harjadi, S. S.
1999. Pengantar Agronomi. Jakarta: Gramedia.
Howe, F.H. & Westley, L.C. 1988. Ecological relationshis of plant
and animal. Oxford university press. New York. pp. 29-38.
Ishaaya, I. 1986. Nutritional and allelochemic insect plan interaction
reting to Digestion and food intake. Ed:
Miller, J.R. & Miller, T.A. Insect plan Interaction.
Springer-verlag. New York. London. pp. 639-642
Sudah sejak lama rayap identik dengan kerusakan bangunan. Kayu, cabang,
ranting dan daun yang telah mati, serta kertas, karton, rumput, biji-bijian,
humus, dan bahkan kotoran hewan yang sudah mengering dapat diserang oleh rayap
(Winarno, 2001). Dengan kemampuannya mencerna selulosa, dapat dipastikan bahwa
semua bahan berlignoselulosa akan mudah diserang oleh rayap apalagi bila
bahan-bahan tersebut terpapar langsung dan tidak terlindung. Kerugian ekonomis
akibat serangan rayap terhadap bangunan di kota Bogor dan sekitarnya tidak
sedikit. Menurut Rismayadi dan Arinana (2007), angka tersebut mencapai 2,7
trilyun rupiah di tahun 2000.
Usaha pengendalian serangan rayap dapat dikategorikan dalam dua bentuk,
yaitu perlakuan terhadap koloni rayap dan perlakuan perlindungan terhadap
bahan-bahan berlignoselulosa seperti kayu dan lain sebagainya. Yang umum
dilakukan adalah kegiatan yang terakhir (perlindungan) karena perlakuan
terhadap koloni tergolong rumit dan tidak mudah mengingat sulitnya menemukan
posisi koloni rayap dengan tepat.
Perlindungan terhadap kayu dikenal dengan istilah pengawetan, yakni
memasukkan bahan yang bersifat racun terhadap rayap dan faktor perusak biologis
lainnya ke dalam kayu sehingga umur pakai kayu meningkat. Bahan pengawet yang
biasa digunakan adalah bahan-bahan kimia sintetis. Sayangnya, bahan-bahan
tersebut bersifat racun tidak hanya terhadap faktor-faktor biologis perusak
kayu namun juga terhadap manusia dan tidak ramah lingkungan karena undegradable (Tobing dalam Sitepu 2003). Dengan demikian maka
perlu dicari bahan-bahan alami yang berpotensi sebagai bahan pengawet kayu
sehingga kerusakan terhadap manusia dan lingkungan akibat penggunaan
bahan-bahan sintetis yang terus menerus dapat dihindari.
Salah satu bahan alami yang
berpotensi sebagai bahan pengawet adalah Kacang Babi (Vicia faba L.). Tumbuhan yang tumbuh liar dan banyak dijumpai di
berbagai tempat di Jawa Barat telah digunakan oleh para petani lokal sebagai
pestisida alami terhadap berbagai faktor perusak tanaman hortikultura dan
biji-bijian seperti ngengat, kumbang penggerek, tikus, rayap, dan semut. Kacang
Babi juga digunakan untuk mengatasi serangan hama bagi ternak seperti kutu,
lalat, dan caplak, dan juga untuk rumah agar terbebas dari nyamuk, kecoa, dan
kutu kasur.
Mengingat tumbuhan Kacang Babi
ini berpotensi sebagai pestisida alami, pemanfaatan tumbuhan ini sebagai bahan
pengawet kayu yang ramah lingkungan merupakan salah satu alternatif yang
menjanjikan dan perlu diteliti dengan seksama.
Perumusan
Masalah
Ketersediaan kayu-kayu awet di
Indonesia tergolong rendah. Dari 200 jenis kayu perdagangan yang ada, 85%
diantaranya tergolong ke dalam kelompok kayu kurang awet yang apabila digunakan
untuk tujuan tertentu tanpa diawetkan, dapat dipastikan akan memiliki masa
pakai yang singkat (Martawijaya et al., 2005). Keterbatasan ini diperparah
dengan tingginya populasi rayap di Indonesia karena lingkungan yang lembab.
Menurut Rismayadi dan Arinana (2007), kawasan Jabodetabek dan sekitarnya
merupakan kawasan yang rentan akan serangan rayap. Akhir-akhir ini tingkat
serangan rayap mulai mengkawatirkan dimana frekuensi serangan mencapai 55-75%
dari seluruh bangunan yang ada. Diperkirakan frekuensi tersebut akan meningkat
5% per tahun seiring dengan meningkatnya pembangunan gedung dan perumahan di
kawasan tersebut.
Bahan pengawet kayu yang tersedia
di pasaran selain bersifat racun terhadap manusia dan tidak mudah terdegradasi,
jugatergolong mahal. Oleh karena itu,
pemanfaatan ekstrak daun tumbuhan Kacang Babi
(V. faba L.) sebagai
alternatif bahan pengawet perlu diteliti dan digalakkan mengingat kemampuannya
yang baik dalam mengatasi serangan rayap dan ketersediaannya yang berlimpah di
alam. Untuk dapat mengetahui peranan
ekstrak daun Kacang Babi sebagai bahan pengawet alami dengan pasti,
makapenelitian akan hal tersebut mutlak dilakukan. Oleh karena itu kami
mengajukan proposal ini sebagai wujud nyata sumbangsih mahasiswa khususnya
dalam rangka melestarikan sumberdaya hutan yang dimiliki. Dengan ditemukannya
bahan pengawet yang ramah lingkungan, maka masa pakai kayu menjadi lebih
panjang dan hal ini secara tidak langsung berkontribusi bagi kelestarian
sumberdaya hutan.
Tujuan Program
Penelitian ini dilaksanakan untuk
mengkaji keefektifan penggunaan ekstrak daun Kacang Babi (V.
faba L.) sebagai bahan pengawet alami khusus untuk kayu dan produk kayu
lainnya dalam rangka meningkatkan masa pakai kayu dengan membandingkan dua
metode pengawetan yang dipilih.
Luaran yang
Diharapkan
Luaran
yang diharapkan adalah publikasi dalam jurnal ilmiah terakreditasi serta paten
yang terkait dengan ekstrak daun Kacang Babi sebagai bahan pengawet alami dan
metode pengawetan yang efektif.
Kegunaan Program
Selain memperkaya khasanah ilmu
dan pengetahuan di bidang pengawetan kayu khususnya dengan menemukan bahan
pengawet alami dan metode pengawetan yang efektif, penelitian ini juga
bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan petani lokal dengan tumbuhan Kacang
Babi sebagai mata pencahariannya.
II.Tinjauan Pustaka
1.Deskripsi dan Kegunaan
Tumbuhan Kacang Babi (Vicia faba L.)
Kacang Babi merupakan tumbuhan tahunan dengan tinggi antara 30-180 cm.
Batangnya kuat, bersegi dan berongga dengan tipe daun berseling, menyirip
ganda, berjumlah 2-6, berbentuk bundar telur hingga menjorong. Bunga bertandan
pendek di ketiak dengan jumlah 1-6, berukuran kurang lebih 2-4 cm x 1.5 cm,
berwarna putih dengan loreng dan ruam, serta berbau. Berbuah polong, berbentuk
agak silinder hingga memipih. Di lapangan, kultivar mencapai panjang 5-10 cm,
sedangkan bila ditanam di kebun dapat mencapai panjang 30 cm. Bentuk dan ukuran
biji sangat beragam, sangat padat hingga agak membulat, berwarna putih, hijau,
kekuning-kuningan, coklat, ungu atau hitam (http://dusunlaman.net/?p-216; diakses tanggal 19 Oktober 2009).
Asal dan sebaran geografis Kacang Babi adalah di daerah Mediterania atau di
daerah selatannya sampai kawasan Polinesia. Di Asia Barat, kacang ini telah
ditanam sejak zaman lampau, dan sekarang sudah secara luas ditanam di banyak
negara tropis. Kacang ini tergolong dalam kacang polong utama dunia.
Kacang Babi dapat tumbuh pada hampir semua jenis lahan. Kondisi pertumbuhan
terbaik terdapat di tanah liat dengan pH optimum sekitar 6,5. Selama
pertumbuhan tumbuhan ini memerlukan temperatur rata-rata 18-27°C, dengan
sedikit atau tidak ada panas yang berlebihan. Curah hujan yang diperlukan
sekitar 650-1000 mm/tahun dengan kelembaban tertinggi kurang lebih 9-12 minggu
setelah penanaman. Perbanyakan tanaman ini biasa dilakukan dengan biji.
Saat ini Kacang Babi telah ditanam oleh petani-petani lokal untuk berbagai
macam manfaat, terutama sebagai “tanaman lahan tandus” untuk meningkatkan
kesuburan tanah dan untuk pengendalian hama beberapa jenis hortikultura dan
tumbuhan biji-bijian. Di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, Kacang Babi
kultivar berkulit hijau umumnya ditanam sebagai tanaman kebun, sementara yang
kultivar kacang kering sebagai bahan makanan bagi manusia dan ternak karena
kaya akan protein. Secara tradisional, tumbuhan ini juga digunakan sebagai bahan
pelumpuh ikan yang ada di danau kecil atau sungai.
2.Kepentingan dan Manfaat
Pengawetan Kayu
Secara
umum, pengawetan kayu adalah melindungi kayu terhadap semua faktor yang dapat
merusak kayu yang pada akhirnya menyebabkan kayu menjadi hancur. Dalam pengertian
praktis, pengawetan kayu bermakna meningkatkan keawetan alami kayu dengan
memasukkan bahan beracun terhadap serangga, jamur, dan faktor perusak
lain. Dengan semakin terbatasnya
ketersediaan kayu awet, pasokan kayu tidak awet namun sudah diawetkan merupakan
alternatif yang penting. Pengalaman menunjukkan bahwa perpanjangan masa pakai
kayu terutama untuk pemakaian di luar ruangan (kondisi terbuka) secara
finansial menguntungkan meskipun pada awalnya terasa lebih tinggi karena untuk
kondisi tertentu biaya pengawetan kayu meningkatkan biaya. Namun dengan pengawetan, kayu dijamin
memiliki masa pakai yang lebih panjang dibandingkan dengan kayu yang tidak
diawetkan.
Perpanjangan
masa pakai kayu dengan perlakuan pengawetan yang sesuai memberikan pengaruh
yang nyata pada pemanfaatan kayu. Dengan pengawetan kayu, maka kayu-kayu yang
kurang atau tidak awet -biasanya memiliki masa pakai yang singkat terutama
untuk penggunaan di tempat yang terbuka- dapat dimanfaatkan. Dengan pengawetan,
kayu-kayu yang selama ini tidak dipakai karena tidak awet dapat dimanfaatkan
sebagai bahan alternatif. Apalagi mengingat meningkatnya pasokan kayu dari
jenis yang demikian akibat semakin menurunnya potensi hutan alam dan adanya
moratorium penebangan kayu di Indonesia.
Selain
itu, perlakuan pengawetan dapat menyebabkan berkurangnya permintaan kayu untuk
proses penggantian komponen bangunan yang rusak akibat berbagai faktor
perusak. Dengan demikian kelestarian
hutan menjadi lebih terjamin. Dengan tersedianya kayu-kayu yang sudah diawetkan,
maka pengeluaran devisa negara untuk mengimpor kayu dapat ditekan. Untuk
negara-negara penghasil kayu, tindakan pengawetan dapat mengurangi pemakaian
kayu di dalam negeri sehingga dapat meningkatkan volume ekspornya.
3.Metode Pengawetan
Masuknya bahan pengawet ke dalam kayu dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu tanpa dan menggunakan tekanan. Metode pengawetan yang
tanpa tekanan bisa berupa pelaburan (brushing),
penyemprotan (spraying), rendaman
dingin (cold soaking), rendaman panas
dingin (cold and hot soaking). Adapun
metode pengawetan yang menggunakan tekanan terdiri dari metode sel penuh dan sel kosong. Keduanya dilengkapi dengan alat vakum.
Perlakuan sel penuh bertujuan untuk memasukkan bahan
pengawet sebanyak mungkin sehingga mampu memenuhi seluruh rongga yang ada,
sedangkan pada perlakuan sel kosong sebagian bahan pengawet dipaksa keluar dan
hanya sebagian yang tertinggal di dalam kayu. Metode yang lebih umum dilakukan
adalah proses sel kosong karena lebih murah dan tidak mengurangi keefektifan bahan
pengawet.
4.Pengaruh Pengawetan terhadap Sifat Kayu
Masuknya bahan pengawet ke dalam kayu tidak saja
meningkatkan keawetan kayu tetapi juga berpengaruh terhadap sifat-sifat kayu.
Besar perubahan pada kayu misalnya kemudahan di cat, keterbakaran, bau,
kekuatan, ketahanan terhadap listrik, perekatan, berat, dan lain sebaginya
dipengaruhi oleh sifat bahan pengawet dan kondisi perlakuan.
Perlakuan dengan metode sederhana -misalnya dengan
perendaman singkat tidak menimbulkan masalah, tetapi penerapan tekanan dapat
menyebabkan bahan pengawet menetes atau terbentuknya kristal di permukaan kayu.
Kayu-kayu awetan dengan bahan pengawet larut air pada umumnya tidak menimbulkan
masalah dalam penge-cat-an meskipun beberapa diantaranya mampu ”mewarnai”
kayu-kayu yang berwarna terang.
Kekuatan kayu yang diawetkan dengan tekanan dalam
silinder yang tertutup biasanya berkurang akibat tekanan dan panas yang
diterapkan. Tekanan ternyata lebih memberikan efek negatif, baik bila pemanasan
diperpanjang ataupun saat pemanasan singkat karena waktu yang singkat
mengakibatkan meningkatnya tekanan. Kombinasi pengaruh tekanan dan suhu
tergantung pada jenis kayu dan tipe bahan pengawet.
Kayu yang diawetkan dengan bahan pengawet larut air lebih
mudah direkat dibandingkan dengan kayu awetan menggunakan bahan pengawet
organik maupun bahan pengawet larut minyak. Dibandingkan dengan kayu kontrol,
kekuatan sambungan pada kayu-kayu awetan lebih rendah.
Berat kayu awetan akan bertambah secara proporsional
sesuai dengan berat bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu.
5.Rayap
Rayap
memiliki habitat yang berbeda. Berdasarkan tempat bersarangnya, rayap dapat
dibedakan atas rayap pohon, rayap kayu lembab, rayap kayu kering, dan rayap
tanah (subteran). Di Indonesia rayap tanah merupakan jenis yang paling banyak
merusak terutama dari genus Coptotermes dan Schedorhinotermes. Mereka sangat
ganas, bisa menyerang objek yang berjarak 200 meter dari sarang dan bahkan bisa
menembus tembok setebal beberapa cm dengan bantuan enzim yang dikeluarkan dari
mulutnya (http://fikri-fulkiadli.blogspot.com/2008/09/jenis-jenis-rayap.html; di akses
tanggal 14 Oktober 2009).
6.Sifat Mekanis Kayu
Sifat mekanis kayu adalah sifat yang berhubungan dengan kekuatan kayu dan
merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya.
Gaya luar tersebut cenderung untuk merubah ukuran dan bentuk kayu (Haygreen dan
Bowyer, 1982).
Sifat
mekanis kayu merupakan faktor terpenting yang harus diperhatikan apabila kayu
akan digunakan untuk bahan bangunan. Dua sifat mekanis pentinguntuk menilai kekuatan kayu diantaranya
adalah keteguhan lentur statis (static
bending strength) dan kekerasan (hardness).
Menurut Haygreen dan Bowyer (1982), keteguhan lentur statis merupakan sifat
yang digunakan untuk menentukan beban yang dapat dipikul oleh suatu gelagar.
Apabila suatu gelagar dibengkokkan, separuh bagian atas mengalami tegangan dan
separuh bagian bawah mengalami tarikan, sedangkan sumbu netral tidak mengalami
tegangan tarik maupun tegangan tekan. Dari pengujian keteguhan lentur akan
diperoleh nilai keteguhan kayu pada batas proporsi dan keteguhan kayu maksimum.
Di bawah batas proporsi terdapat hubungan positif antara tegangan dengan
regangan, dimana nilai perbandingan antara regangan dan tegangan ini disebut Modulus of Elasticity (MOE); sementara Modulus of Rupture (MOR)
dihitung dari beban maksimum (beban pada saat patah) (Haygreen dan Bowyer
1982).
b)Kekerasan (Hardness)
Kekerasan merupakan ukuran
kemampuan kayu untuk menahan kikisan pada permukaannya. Sifat kekerasan
dipengaruhi oleh kerapatan kayu, keuletan kayu, ukuran serat, daya ikat antarserat
dan susunan serat (Mardikanto, 1979 dalam
Gunawan, 2004). Nilai yang didapat dari hasil pengujian merupakan uji
pembanding, yaitu besar gaya yang dibutuhkan untuk memasukan bola baja yang
berdiameter 0,444 inci pada kedalaman 0,22 inci (Wangaard, 1950 dalam Prasetyo, 2001).
III.Metode Pendekatan
1.Tempat dan Waktu
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di
Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu,
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB mulai dari bulan November 2009
sampai bulan April 2010.
2.Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah daun Kacang Babi, kayu
sengon (Paraserianthes falcataria),
dan rayap tanah (Coptotermes curvignathus
Holmgren). Adapun peralatan utama yang digunakan adalah blender sebagai penggerus, wadah plastik
untuk proses pengawetan, peralatan laboratorium seperti timbangan, petry dish, Erlen meyer, tabung kaca, timbangan, dan sebagainya termasuk alat tulis,
serta peralatan uji sifat mekanis dan tabung pengawetan kayu.
Daun Kacang Babi diperoleh dari perkebunan di Desa Sunia
Kecamatan Banjaran Kabupaten Majalengka. Daun tumbuhan ini akan digunakan untuk
memperoleh ekstrak bahan aktifnya dengan cara penggerusan. Kayu
sengon sebagai sampel diperoleh dari 4 batang pohon sehat dari kawasan
hutan rakyat sekitar kampus IPB Darmaga. Adapun koloni rayap tanah sebagai
faktor perusak diperoleh dari Hutan Percobaan Yanlappa, Jasinga-Bogor yang
telah dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan, Pusat Studi Ilmu Hayati
IPB.
3.Ekstraksi Daun Kacang Babi dan Pembuatan Larutan Bahan Pengawet
Ekstrak daun Kacang Babi diperoleh melalui proses
penggerusan potongan kecil daun Kacang Babi segar dengan akuades dalam blender, lalu disaring untuk
memisahkannya dari ampas (residu). Konsentrasi larutan bahan pengawet yang
digunakan adalah 20, 40, dan 60%.
Untuk memperoleh konsentrasi larutan bahan pengawet
sebesar 20%, maka sebanyak 20 g daun Kacang Babi segar digerus dalam blender sambil ditambahkan 100 ml
akuades. Untuk konsentrasi 40%, maka dibutuhkan 40 g daun dan 100 ml akuades;
sementara untuk 60% dibutuhkan 60 g daun dan 100 ml akuades.
4.Persiapan Kayu Sampel
Dari masing-masing batang diambil bagian pangkalnya.
Kemudian dijadikan contoh uji kondisi kering udara dengan 2 ukuran, yaitu: 2
cm x 1 cm x 1cm (untuk uji efikasi bahan pengawet)
dan 30 cm x 2 cm x 2 cm (untuk uji sifat
mekanis kayu setelah diawetkan). Dengan 2 metode, 4 konsentrasi, 2 jenis
pengujian, dan 4 ulangan, maka dibutuhkan 64 sampel. Tiga puluh dua sampel
untuk pengujian efektifitas bahan pengawet dan 32 sampel lainnya untuk
pengujian pengaruh pengawetan terhadap sifat mekanis kayu.
5.Proses Pengawetan Kayu
Metode pengawetan kayu yang diterapkan adalah metode
rendaman dingin dan metode vakum-tekan khususnya sel kosong, masing-masing
dengan konsentrasi larutan bahan pengawet sebesar 0- (kontrol), 20-, 40- dan 60%. Prosedur
pengawetan mengikuti tahapan standar, dimana sebelum kayu diawetkan sampel kayu
dan larutan bahan pengawet telah disiapkan terlebih dahulu dengan seksama.
Secara ringkas dapat disebutkan bahwa perendaman
dilakukan selama satu minggu, sedangkan besar tekanan yang digunakan adalah 8
atm selama 30 menit. Setelah diawetkan, kayu ditiris dan di-conditioning-kan untuk meratakan
masuknya bahan pengawet ke dalam kayu untuk selanjutnya dikering-udarakan
selama 3-4 minggu untuk mencapai kadar air kering udara.
6.Uji Efikasi Bahan Pengawet
Sampel kayu yang telah diawetkan kemudian dimasukan ke
dalam wadah kaca berukuran 5 cm x 3 cm x 3 cm yang telah berisi tanah steril
lembab setinggi 3-4 mm. Ke dalam wadah yang telah berisi kayu, lalu dimasukkan
50 ekor rayap pekerja, kemudian ditutup dengan alumunium foil yang telah dilubangi. Selanjutnya wadah tersebut
disimpan dalam ruangan gelap pada suhu ± 28oC selama 2 bulan.
Setelah 3 bulan pengumpanan, sampel tersisa kemudian
dikeluarkan, lalu dibersihkan dan dikeringkan dalam oven (103±2)ºC untuk
mendapatkan berat akhir kayu (BKT2). Jumlah rayap yang masih hidup dihitung
dengan seksama. Persentase kehilangan berat kayu dan persentase mortalitas
rayap dihitung dengan menggunakan rumus:
% Kehilangan
Berat = (BKT1 – BKT2) / BKT 1 x 100%
% Mortalitas
Rayap = (N1 – N2) / N1 x 100%
Dimana: BKT1 =
BKT kayu sebelum diumpan
BKT2
= BKT kayu setelah diumpan
N1 =
Jumlah rayap awal (ekor)
N2 =
Jumlah rayap yang masih hidup (ekor)
7.Uji Sifat Mekanis Kayu
Sifat mekanis kayu yang diuji terdiri dari keteguhan
lentur statis dan kekerasan. Pengujian dilakukan mengikuti tahapan standar
dengan menggunakan mesin uji Universal
Testing Machine.
IV. Pelaksanaan
Program
1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan
di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor, yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan Mei
2010.
2. Tahapan Pelaksanaan/Jadwal Faktual
—14
Januari 2010 : Pengumuman PKM didanai
—19 Januari 2010 : Konsultasi
Perdana
—9 Februari 2010 : Pengambilan daun kacang babi
—12-17 Februari 2010 : Pembuatan ekstrak daun
kacang babi
—19-22
Februari 2010 : Konsultasi dan persiapan
bertingkat
—1-13
Maret 2010 : Pembuatan sampel uji kayu
—15-27
Maret 2010 : Pengeringan kayu dalam kondisi kadar air
15%-17%
—27 Maret-8 April 2010 : Proses pengawetan
—8-15
April 2010 : Proses pengeringan sampel uji
—15-29 April 2010 : Karantina rayap
—20
April: Penimbangan sampel uji sebelum diumpan
—1
Mei 2010 : Pengumpanan rayap
—20 Mei 2010 :
Pembongkaran rayap dan perhitungan mortalitas rayap
—21 Mei 2010 :
Penghitungan kehilangan berat sampel uji
—25 Mei-4 Juni :
Penyelesaian Laporan akhir
4. Instrumen Pelaksanaan
- Belender
- Timbangan
-Vakum Tekan
- Cawan
-Gelas Uji Rayap
-Bak Pengawetan
-Caliper
5. Rancangan dan Realisasi Biaya (Tercantum
di lampiran)
V.Hasil
dan Pembahasan
Ekstrak
daun kacang babi ( Vicia Faba L.)
telah terbukti efektif sebagai bahan pengawet kayu ramah lingkungan setelah di
lakukan proses penelitian ini. Dapat di ketahui dari data mortalitas rayap dan
kehilangan berat sampel uji. Rayap mengalami mortalitas tertinggi pada minggu
kedua pada contoh uji yang di beri perlakuan.sementara untuk sampel uji kontrol
masih banyak rayap yang masih hidup.untuk efektifitas dari tingkat konsentrasi
ternyata konsentrasi 60% paling efektif karena pada minggu pertama kondisi
rayap mengalami mortalitas cukup banyak di bandingkan yang lain.tetapi
konsentrasi 20% dan 40% juga sudah cukup efektif karena dalam waktu dua minggu tingkat
mortalitas rayapnya mencapai 100%.
Berdasarkan
dua metode yang di bandingkan dalam penelitian ini ternyata tidak memberikan
data yang signifikan terhadap mortalitas rayap. Kedua metode ini sama - sama
efektif dalam proses pengawetan. Tetapi yang membedakanya adalah efisiensi
waktu dalam proses pengawetanya.dimana perendaman memerlukan waktu satu minggu,
tetepi untuk metode vakum tekan hanya memerlukan waktu 1 jam. Tetapi
kelemahanya adalah dari segi biaya, metode vakum tekan lebih mahal dibandingkan
dengan metode rendaman. Sampel kayu hasil pengawetan menggunakan ekstrak daun
kacang babi ternyata tidak mempengaruhi kekuatan mekanis kayu. Sedangkan efek
dari pengawetan terhadap warna kayu yaitu warna kayu menjadi lebih gelap.
VI.Kesimpulan
dan Saran
Berdasarkan
hasil dan pembahasan Ekstrak daun kacang babi (Vicia Faba L.) telah terbukti efektif untuk pengawet kayu ramah
lingkungan. Metode pengawetan yang efektif dan efisien adalah metode vakum
tekan karena waktu yang di perlukan untuk proses pengawetan lebih singkat
dibandingkan dengan metode pengawetan dengan perendaman.
Saran
untuk penelitian ini adalah perlu di adakanya penelitian lebih lanjut. Terutama
untuk bahan – bahan alami lainya yang berpotensi sebagai bahan pengawet kayu
ramah lingkungan.
Gunawan, G. 2004. Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Jati Plus Perhutani dari Beberapa Seedlot
Asal KPH Ngawi Pada Kelas Umur I.[Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian
Bogor, Fakultas Kehutanan.
Haygreen, J.G.
dan J. L. Bowyer. 1982. Forest Product
and Wood Science. An Introduction.
Iowa State University Press, Ames. USA
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y. I.
Mandang, S. A. Prawira dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan
Litbang Kehutanan. Bogor.
Nandika, D., Y.Rismayadi, F. Diba. 2003.
Rayap, Biologi dan Pengendaliannya. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Prasetyo, A. 2001. Pembandingan Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Pilang (Acacia leucophloea
Wild.) dengan Kayu Jati, Mahoni dan Meranti. [Skripsi]. Institut Pertanian
Bogor, Fakultas Kehutanan. Tidak diterbitkan.
Rismayadi, Y. dan Arinana. 2007. Usir Rayap Dengan Cara Baru Dan Ramah Lingkungan. Majalah Serial Rumah. PT.
Prima Indosarana Media. Hal. 32
Sitepu, V. K. 2003. Uji efikasi bifentrin dan impralit sebagai bahan pengawet kayu lapis terhadap rayap kayu kering
(Cryptotermes cynocephalus). [Skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Winarno, F.G. 2001. Hama Gudang dan Teknik Pemberantasannya. Mbrio Press. Bogor